بسم الله الرحمن الرحيم
( Alhamdulillah Allah s.w.t tlh memberi peluang kpd teman dan shbt teman akh hanif utk mengakaji tntg tokoh2x ulama aceh khususnya pada abad ke -16 ...yg mane kami ditugaskn oleh Pak Afrizal selaku Dosen kami dlm mengkaji JUDUL ini di bawah mata kuliah Perkmbgn Pemikiran Islam Di Aceh " di sini kmi bru tahu siapa gerangan ulama' yg terkenal dlm penyebaran islam di Aceh Khusunya... kalau seblm ini kami hnya thu nme shj ttp siapakah grangn mereka nggak kami ketahui...kini sedikit sejarah tntng mereka telah kami ketahui ... semoga secebis bahan makalah ini dpt mencerahan minda kita dlm turut sama merasai jerih payah mereka dlm mengembngka KESUCIAN AGAMA ISLAM INI..." JAZAKALLAHUKHAIRAN KATHIRAN JAZA' teman ucapkan pada sahabt teman Akh Hanif B Mat Daud.. kerana bnyk sgt mmbntu dlm pembikinan makalah ini jua krn memberi keizinan utk teman mempostkn maklh ini dlm blog teman yg x seberapa ini BARAKALLAHUFIKA"
kpd para pembaca yg setia : "smoga perkongsian ini ada manfaatnya buat kite semua...
p/s : kami memohon kemaafan seandainya catatan ini ada kekurgn..."
PENDAHULUAN :
Ulama adalah penyambung estafet misi yang dibawakan Nabi Muhammad S.A.W yaitu dengan menunjukkan dan mengajarkan ajarannya. Mereka merupakan orang yang mewarisi misi para Nabi (WARASATU AL-ANBIYA’), yaitu pengkaji dan sekaligus penagajar ajaran yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Dari kedudukan mereka yang strategis itu, maka keberadaannya jelas begitu menentukan dalam kelanjutan,kelangsungan dan pengembangan ajaran Al-Quran atau ajaran islam.
Berbeda dengan nabi yang ma’sum dan bebas dari kealpaan, ijtihad para ulama tetap saja memuat berbagai kemungkinan yang beragam,boleh jadi , sebagian pendapat mereka benar atau mungkin juga sebagian yang lain keliru. Seperti juga ilmuan lain, politisi, pengusaha,atau profesi apapun juga, dinamika kehidupan menhadapkan para ulama dengan pilihan-pilihan yang harus diambil dengan segala konsekuensinya. Yang membedakan bahwa seseorang “Ulama” harus ditulis dengan Ubesar adalah motivasi, semangat dan ruh mereka dalam mengabdi dan memperjuangkan kebenaran hakiki.
Dalam sejarah masyarakat aceh , ulama merupakan salah satu di antara dua elit sosial lainnya, di samping kaum bangsawan( keturunan sultan dan atau Uleebalang). Dalam perjalanannya, antara mereka kadang-kadang terjalin kerjasama yang baik tentunya berdampak pada keharmonisan kehidupan masyarakat. Akan tetapi dalam fase-fase tertentu, terbuka atau tidak, konflik muncul juga, sehingga dampaknya jatuh juga bagi masyarakat secara umum.
BIOGRAFI PARA ULAMA’ ACEH ABAD KE -16 :
1. Hamzah Fansuri
Hamzah fansuri adalah seorang tokoh tasauf dari Aceh yang menyebarkan paham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Paham inilah yang nantinya ditentang oleh tokoh ulama selanjutnya yakni Nuruddin Ar-Raniry. Hamzah Fansuri juga seorang penyair yang memperkenalkan bentuk syair ke sastera Melayu. Masih ada perbedaan pendapat mengenai tahun dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri serta tentang masa hidupnya, sebab tahun kelahiran dan kematiannya sebenarnya tidak diketahui pasti. Sekalipun demikian, ada bukti bahawa dia hidup dan berjaya pada masa sultan ‘Ala Al-Din Ri’ayat Syah (berkuasa 997-1011/1589-1602), dan diperkirakan ia meninggal dunia sebelum 1016-1607. Ia berasal dari keluarga Fansuri di Fansur (Barus), Sumatera Utara. Ia banyak melakukan perjalanan antara lain ke India, Persia, Irak, Makkah, Madinah serta berbagai kota di Nusantara (Kudus, Banten dan Johor). Kendatipun tidak dapat diketahui dengan jelas siapa saja gurunya dan apa saja ilmu yang dipelajari oleh Hamzah Fansuri, tetapi terdapat data yang dapat ditelusuri dari ilmu-ilmu yang dimilikinya melalui telaah tulisannya.
Karya-karyanya:
Diantara buku-buku yang ditulis olehnya adalah Syarb al-Sikin, Zinat al-Muwahidin, Asra al-‘Arifin fi Bayani Ilmi al-Suluk wa al- Tauhid, Al-Muntahi dan Ruba’I Fansuri. Adapun diantara karya syairnya adalah Syair Perahu, syair Burung, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir dan Syair Ikan Tongkol. Dari syair-syair inilah diketahui riwayat hidupnya dan penggembaraannya ke banyak tempat.
Mengingat karya-karyanya yang telah disebutkan di atas dia dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi awal yang paling penting di wilayah Melayu-Indonesia dan juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusteraan Melayu. Seperti yang diutarakan oleh Badri Yatim bahawa di antara saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesia adalah melalui saluran tasawuf. Di antara para ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh. Mengenai kiprahnya di kerajaan Aceh, menurut Schrieke bahawa Hamzah Fansuri adalah “chiefe bishop” (uskup kepala) yang barangkali bisa kita sebutkan sebagai salah seorang tokoh ulama terkemuka yang pada saat itu turut serta membicarakan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggeris dan Aceh yang menjadi wakil Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah yang terjadi pada tahun 1602.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahawa Hamzah Fansuri adalah seorang ulama besar di kerajaan Aceh yang memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu sultan Aceh menjalankan roda pemerintahan.
2. Syamsuddin as-Sumatrani
Nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin ibn Abdillah as-Sumatrani. Ia adalah seorang tokoh ulama besar dan tokoh tasawuf dari Aceh dan terkenal juga dengan nama Syamsuddin Pasai. Ketika Iskandar Muda memerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih Syekh Syamsuddin as- Sumatrani sebagai penasihatnya dan sebagai mufti (disebut Syekh al-Islam) yang mempunyai tanggungjawab dalam urusan keagamaan. Meskipun demikian ia tidak hanya berperan sebagai penasihat agama, tetapi juga terlibat dalam urusan politik.
Menurut Lombard (yang dikutipnya dari Hikayat Aceh) menyebutkan bahawabeberapa kali As-Sumatrani digambarkan sebagai pemimpin rohaniah masyarakat atau menerima laporan dari para penziarah yang kembali dari Mekah. Adat Aceh menberinya tempat kehormatan waktu sembahyang besar (sembahyang hari raya) dan upacara yang khidmat. Dengan dialah kebanyakan penjelajah Eropa berurusan antara tahun 1600 dan 1630 yang mereka sebut dengan nama uskup. Hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh Schrike pada bahasan sebelumnya bahawa terdapat dua tokoh terkemuka yang mengadakan perjanjian dengan Lancaster (utusan khusus dari Inggeris) yang salah seorang dari tokoh terkemuka itu ialah Hamzah Fansuri dan salah seorang lagi bisa jadi As-Sumatrani sebagaimana yang disebutkan oleh Lombard.
Karya-karya tulis As-Sumatrani banyak dipengaruhi oleh tokoh sufi sebelumnya yang juga ulama terkemuka di masa kerajaan Aceh iaitu Hamzah Fansuri. Bersama dengan Hamzah Fansuri, keduanya merupakan tokoh aliran wujudiyyah (penganut paham wahdatul wujud). Ia banyak menulis buku berbahasa Arab dan Melayu. Karya tulisnya tidak banyak diketahui kerana telah dibakar oleh Nuruddin Ar-Raniry. Bukunya yang lolos dari pembakaran itu antara lain adalah Mir’at al-Mukmin dan Mir’at al-Muhaqqiqina. T.Iskandar menyebutkan bahawa Syamsuddin as-Sumatrani adalah orang yang melanjutkan perkembangan tarekat Wujudiyyah. Ia memiliki murid yang banyak (termasuk sultan Aceh sendiri) di samping mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan sebagai penasehat sultan.
Syeikh Shamsuddin pulang ke rahmatullah pada Rajab 1039 bersamaan 24 Februari 1630. Ar-Raniry mencatatkan kepeninggalannya dengan sepatah kalimat positif: “ Syahdah pada masa itulah wafat syekh Shamsuddin Ibnu Abdullah as-Sumatrani pada malam isnin 12 haribulan rajab tahun 1039 H. adapun syeikh itu alim pada segala ilmu dan ialah yang masyhur pengetahuannya pada ilmu tasawuf dan beberapa kitab yang di taklifkannya.
KARYA-KARYANYA:
1) Mir’atul Mukminin, kitab mengenai ilmu akhlaq dan tasawuf, jauharil haqaiq, kitab filsafat mengenai ketauhidan/ilmu ketuhanan.
2) mir’atul Haqiqah, kitab yang membahas masalah-masalah hakikat dan ma’rifat.
3) kitabatul Martabah, kitab filsafat yang membahas nilai-nilai manusia.
4) Mir’atul muhaqqin, kitab mengenai tariqat dan ma’rifat, Tanbihullah, kitab mengenai persoalan akhlaq dan lain-lain.
3. Nuruddin Ar-Raniry
Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama besar, penulis, ahli fikh, dan syekh tarekat Rifaiyah yang merantau dari India dan menetap di Aceh. Nama lengkap Ar-Raniry adalah Nuruddin Muhammad ibn Ali ibn Hasanji ibn Muhammad ibn Hamid Ar-Raniry al-Quraisy Asy-Syafi’I. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 di Ranir (sekarang Rander) dekat Surat, Gujarat, India.
Setelah beberapa tahun mengajar agama dan diangkat sebagai seorang syekh tarekat Rifa’iyyah di India, ia mulai merantau ke nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia tiba di Aceh pada tahun 1637. Diduga kedatangan ke Aceh adalah kerana Aceh ketika itu sedang berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Menurut pendapat T- Iskandar, Ar-Raniry sebelum tahun 1637 pernah singgah ke Aceh, namun kerana terdapat pertentangan paham dengan Syamsuddin as-Sumatrani ia berpindah ke Semenanjung Tanah Melayu dan setelah As-Sumatrani wafat ia kembali lagi ke Aceh menetap dan berkarya sampai akhir hayatnya.
Tahun 1637 adalah tahun kegelapan bagi pengikut wujudiyah dengan adanya pergantian kekuasaan dari Sultan Iskandar Muda kepada sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Syaikh Ar-Raniry yang baru tiba dari India disambut oleh sultan yang baru serta dilantik menjadi ulama istana. Beranjak dari hubungan yang baik antara Ar-Raniry dan sultan Tsani, menjadikannya lebih leluasa untuk menyampaikan fatwa yang isinya mengkafirkan ajaran wujudiyah Aceh. Sebagai pelaksanaannya kitab-kitab berbau wujudiyah dilarang dibaca di seluruh wilayah kerajaan Aceh dan ribuan salinan naskahnya dibakar di depan mesjid Raya. Pada masa yang sama pengikut-pengikut Syamsuddin as-Sumatrani dan Hamzah Fansuri dijatuhi hukuman mati dengan dilemparkan ke tengah kobaran api. Ar-Raniry menceritakan peristiwa ini di dalam bukunya Bustan.
Karya-karyanya:
- Asrar al-Insan fi Makrifaturruhi war Rahman, Akbarul Akhirah fi Awwalil Qiyamah. Karya-karya atau buku-buku ini telah dihasilkan oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniry utntuk menentang ajaran wujudiyah.
- Sebagai seorang ulama juga sekaligus penulis, ia banyak menulis buku dalam berbagai cabang ilmu seperti fikh, hadits, dan aqidah. Salah satu karyanya yang terkenal adalah As-Sirat al-Mustaqim (Jalan lurus) yang membahas masalah ibadah, shalat, puasa dan zakat. Peranannya yang penting di bidang politik dan ekonomi adalah pada saat membatalkan peraturan yang hendak ditetapkan penguasa Aceh, Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-167) yang dianggap terlampau berpihak kepada kepentingan para pedagang Gujarat daripada kepentingan pedagang Belanda. Di sini Ar-Raniry muncul sebagai ulama yang sangat berpengaruh terhadap penguasa Kesultanan Aceh, melampui posisi formalnya sebagai Syaikh Al-Islam yang lebih bersifat keagamaan.
4. Abdurrauf As-Singkili .
Syeikh Abdurrauf memiliki nama lengkap Abdurrauf ibn Ali Al-Fansuri As-Sangkili. Dari nama ini terlihat bahawa dia adalah seorang Melayu dari Fansur, Singkil. Namanya kadang-kadang juga diikuti dengan Syiah Kuala. Penggunaan kata Syiah Kuala di akhir namanya merupakan gelar yang diberikan masyarakat Aceh pada waktu itu sebagai nisbah dari nama tempat ia mengajar. Tempat itu terletak dipinggir Krueng Aceh yang dikenal dengan Kuala Krueng Aceh.
Setelah sultan Iskandar Tsani wafat, terjadilah perdebatan hebat terhadap rencana diangkatnya permaisuri Tajul ‘Alam Safiatuddin Syah sebagai penguasa tertinggi di kerajaan Aceh. Kaum lelaki keturunan Sultan Aceh akan merebut takhta kesultanan dengan dukungan para ulama, yang mengatakan bahawa perempuan tidak boleh menjadi raja, karena bertentangan dengan syariat Islam. Ketika terjadi konflik tersebut, Tajul ‘Alam Safiatuddin memiliki pengaruh besar sekaligus memiliki kekayaan yang banyak.
Akibat dari pertentangan dan pergolakan tersebut Syeikh Abdurrauf sebagai ulama tempatan akhirnya turun tangan. Dalam menghadapi kondisi tersebut ia cukup hati-hati, kerana akan berakibat fatal jika tidak disikapi secara serius. Setelah membaca dan memahami pertentangan idea dan kondisi politik Aceh ketika itu, akhirnya ia dapat mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak yang bertikai. Dengan adanya intervensi Abdurrauf, lambat laun stabilitas politik dan kehidupan keagamaan dapat dipulihkan. Sebagai balas jasa, Sultanah mengangkat Abdurrauf sebagai mufti kerajaan (Qadhi Malik al-‘Adil) dan sekaligus sebagai penasihatnya. Selanjutnya sultanah inilah yang meminta Syeikh Abdurrauf untuk menulis sebuah kitab fiqh yang diberi nama Mir’at al-Thullah. Ia menjabat Qadhi Malik al-‘Adil sampai berakhirnya keempat sultanah di kerajaan Aceh.
Menurut catatan, Syeikh Abdurrauf meninggal dunia ditahun 1690 M. , yang bereti ia menempuh hayatnya selama lebih kurang 73 tahun. Jika lahirnya tepat jatuh pada tahun 1620 M . Maka mencapai lebih 20 tahun lamanya ia turut berada dalam pemerintahan ratu wanita sultanah.
KARYA-KARYANYA:
1) Turjumanul Mustafid, kitab tafsir al-Qur’anul Karim yang pertama dalam bahasa Melayu (Bahasa Jawi).
2) Mir’atul Thullab, kitab hukum Islam yang meliputi segala bidang ilmu hokum, termasuk dagang dan hukum tata Negara.
3) Umdatul Ahkam, kitab pengantar ilmu hokum Islam.
4) Umdatul Muhtajin ila Suluki Maslaki Mufradin, kitab filasafat akhlak, Syair ma’arifat, karya sastera dalam bentuk puisi yang membahas masalah ma’rifat ketuhanan.
KESIMPULAN :
Mengenal tokoh-tokoh yang pernah berjasa bagi umat manusia.selama hidup mereka, bukan saja perlu tetapi sesuatu keniscayaan dari generasi yang mengahargai karya bakti mereka dalam meningkatakan harkat dan martabat manusia. Di sinilah kita telah melihat peran dan kesungguhan mereka dalam mengembangkan ajaran agama islam yang suci tanpa menghiraukan mehnah dan tribulasi walaupun ada jua perkara-perkara yang mungkin tidak kita senangi, akan tetapi sesungguhnya manusia itu tidak akan dapat lari dari kesilapan.
Dengan melihat kepada peran meraka yang begitu konsisten dan memberi impak yang besar sehingga kini tanpa mengharap apa-apa balasan sedikit pun. Wajarlah kita menghargai pengorbanan jasa mereka dalam menyebarkan agama ke seluruh pelosok tempat khususnya di bumi aceh ini moga-moga setiap titis peluh jua kerahan keringat mereka mendapat keberkatan dan ganjaran dari Allah S.W.T.
DAFTAR PUSTAKA
1) Andri Nirwana, dkk, Riak-riak sejarah Aceh, terbitan Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry.
2) Dra. Munawiyyah,M.Si, Sejarah Peradaban Islam, Terbitan PSW IAIN Ar-Raniry.
3) H.Muhammad Said, Aceh Sepanajng Abad, Terbitan P.T.Percetakan dan penerbitan Waspada Medan 1981.
4) Prof Dr.Azyumardi Azra, M.A, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Terbitan Raniry Press. Cetakan pertama September 2004.
5) www.google.image.com
No comments:
Post a Comment